Entri Populer

Sabtu, 22 Januari 2011

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّك، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ (متفق عليه)

Artinya: Riwayat Abu Hurairah ra menuturkan, “Seorang pria datang kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling patut saya perlakukan dengan baik?” Tanya pria itu. Beliau menjawab, “Ibumu." “Siapa lagi?” Tanyanya kembali. “Ibumu,” jawab beliau. “Siapa lagi?” Tanyanya. “Ibumu,” jawab beliau. “Terus siapa lagi?” Tanyanya. Beliau pun menjawab, “Ayahmu.” (HR. al-Bukhari: No. 5514 dan Muslim: No. 4621)

Menurut pengertian etimologi, al-birru adalah kebaikan atau keutamaan. Sedangkan dalam pengetian terminologi, al-birru adalah amal saleh yang bersih dari noda-noda syirik. Sabda Nabi saw,

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ (متفق عليه)

Artinya: “Kejujuran adalah indikator untuk berbuat al-birr (beramal saleh).” (Muttafaq ‘Alaih)

Derivasi makna yang terkandung dalam al-birr mencakup semua bentuk amal kebajikan, baik lahir maupun batin. Berbentuk lahiriyah, yaitu yang dilakukan oleh anggota badan, seperti memberikan pertolongan, bantuan, mendermakan harta, dan lain-lain, yang berbentuk batiniyah, yaitu kebajikan yang bersifat abstrak, misalnya berlaku jujur, berhati ikhlas, berakhlak mulia, berdoa, dan budi pekerti luhur lainnya. Mengenai al-birr yang didefinisikan sebagai kebajikan ini, sesuai dengan firman Allah swt:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3 : 92)

Dari dalil-dalil di atas, dapat ditarik benang merah bahwa makna al-birr dapat diartikan sebagai amal saleh, budi pekerti luhur, dan kebajikan secara umum. Dengan demikian, al-birr memiliki antonim yaitu al-itsm yang berarti dosa. Sebab kebajikan dapat menuntun orang ke sorga, sedangkan dosa dapat menjerumuskan orang ke neraka. Hal ini selaras dengan dengan pernyataan An-Nawwas bin Sim’an yang bertanya kepada Baginda Nabi mengenai definisi al-birr dan al-itsm. Nabi saw menjawab:

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم والترمذي وأحمد)

Artinya: “Kebaikan adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah kehendak di dalam hatimu yang tidak disenangi sekiranya dilihat oleh manusia.” (HR. Muslim: No. 4632, al-Tirmidzi: No. 2311, dan Ahmad: No. 16974)

Adapun berbuat birr kepada orang tua, berarti berbuat baiknya seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini dapat diimplementasikan dengan perilaku sopan dan santun kepada keduanya, baik dalam ucapan maupun tingkah laku, mentaati perintahnya selagi tidak menyuruh berbuat maksiat, mencukupi segala kebutuhan yang mereka perlukan menurut batas kemampuan yang ada, dan mendoakannya.

Hukum Berbakti Kepada Orang Tua

Para ulama sepakat bahwa berbuat taat dan bakti kepada kedua orang tua itu hukumnya wajib. Tetapi yang dipersilisihkan ialah siapakah yang harus didahulukan diantara keduanya itu, bapak atau ibu. Sebagian ulama tidak membedakan satu sama lain untuk didahulukan dan diakhirkan, keduanya harus diperlakukan dengan baik secara seimbang.

Menurut pemahaman eksplisit hadits Abu Hurairah di atas, ibulah yang harus didahulukan daripada ayah. Ia lebih berhak dan lebih utama untuk ditaati, disayangi, dikasihi, dan dilayani oleh seorang anak. Ulama yang berpendapat demikian, berargumentasi bahwa Nabi saw dalam hadits tersebut, mengulangi kata “ibumu” sebanyak tiga kali, baru kemudian “ayahmu”.

Ibu diutamakan daripada ayah, mengingat jerih payahnya selama mengandung, melahirkan, menyusui, serta mengasuh anaknya sampai dewasa. Jerih payah dan jasa ibu tersebut dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-ayahnya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman, 31:14)

Ibnu Uyainah berpendapat, syukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan melakukan shalat fardhu lima kali sehari semalam, sedangkan syukur kepada dua orang tua dapat diaflikasikan salah satunya dengan mendoakan keduanya setiap selesai shalat fardhu (Ibnu Allan al-Shiddiqi, tth:II/144). Jadi, dengan melaksanakan shalat fardhu kemudian berdoa untuk kedua orang tua, menurut Ibnu Uyainah, berarti telah bersyukur kepada Allah dan kedua orangtuanya sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat di atas.

Berbakti Kepada Orang Tua Non Muslim

Hidayah dan cahaya Islam memang hak perogratif Allah. Manusia hanya disuruh untuk mengajak dan berdakwah menuju jalan-Nya dan tidak ada paksaan bagi orang lain untuk mengikuti ajakannya. Terkadang orang tuanya baik dan beriman, tetapi anaknya durhaka dan kemudian kafir, sebagaimana yang terjadi pada keluarga Nabi Nuh. Terkadang pula anaknya saleh dan beriman, tetapi orang tuanya durhaka dan musyrik, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan ayahnya Azar. Oleh karena itu, tidak heran jika fenomena seperti ini sering terjadi pada masyarakat, dari zaman dulu sampai sekarang. Permasalahannya, bagaimana sikap seorang anak yang saleh dan beriman jika menghadapi orang tua yang durhaka, musyrik, atau kafir. Apakah ia harus tetap berbakti kepada keduanya, mendoakannya, dan menuruti titahnya, atau tidak?

Islam adalah agama penyebar rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Meskipun seseorang telah mengingkarinya, tetapi haknya sebagai makhluk Allah tetap ada secara proporsional. Dalam hal ini, Islam membatasi sampai di mana perintah orang tua yang musyrik itu dituruti oleh anaknya, dan kapan seorang anak dikategorikan durhaka jika ia membangkang titah orang tuanya.

Pada prinsipnya setiap titah orang tuanya harus ditaati. Tetapi jika mengarah pada kemusyrikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka si anak tidak durhaka untuk menolaknya, bahkan wajib tidak menaatinya. Karena hidayah Allah dan cahaya Islam sangat berharga melebihi segala-galanya. Demikian pula, para dasarnya setiap hal yang dilarang orang tua harus dijauhi oleh si anak. Kecuali jika larangan itu bertentangan dengan syariat. Misalnya orang tua melarang shalat, belajar agama, dan puasa, maka si anak tidak durhaka untuk membangkangnya, bahkan diwajibkan untuk tidak taat kepadanya.

Namun demikian, si anak tetap harus menjaga etika pergaulan dan sopan santun dihadapan orang tuanya, sehingga hubungan dia dengan keduanya tidak berbuntut ketegangan. Allah mengingatkan hamba-hambaNya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua meskipun keyakinan mereka berbeda, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...” (QS. Luqman,31:15)

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Asma puteri Abu Bakar al-Shiddiq ra pernah dikunjungi oleh ibunya yang musyrik. Ia saat itu bimbang, apakah harus berbuat baik kepadanya atau mengacuhkannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka ditemukan jawaban bahwa ia harus tetap memperlakukan ibunya dengan baik, meskipun ibunya itu seorang musyrik. Teks hadits tersebut lengkapnya sebagai berikut:

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي ؟ قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (متفق عليه)

Artinya: Riwayat dari Asma` binti Abi Bakar ra menuturkan, “Ibuku yang musyrik, pada masa Rasulullah, datang mengunjungiku. Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah. “Ibuku adalah orang yang tidak senang dengan agama Islam. Apakah aku boleh menemuinya?” Rasul menjawab, “Temuilah ibumu!” (HR. al-Bukhari: No. 2427 dan Muslim: No. 1671)

Berbuat baik kepada orang yang berlainan keyakinan ini tidak terbatas hanya kepada orang tua. Kerabat dan tetangga pun harus diperlakukan dengan baik selagi mereka mau berdamai dan tidak menyatakan konfrontasi dengan kaum muslimin. Hal ini dijelaskan di dalam al-Qur’an:

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah, 60:8)

Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu dari tiga amal yang paling disukai Allah. Kedua amal yang lain sebagaimana dijelaskan hadits di bawah ini adalah shalat tepat waktunya dan jihad di jalan Allah. Selengkapnya, hadits tersebut adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّه؟ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قُلْتُ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي (متفق عليه)

Artinya: Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud menuturkan, “Aku bertanya kepada Nabi saw. “Perbuatan apa yang paling dicintai Allah?” Rasul menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” “Kemudian apa?” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” “Apa lagi?” sambungku. Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” (HR. al-Bukhari: No. 496 dan Muslim: No.122)

Berbuat Baik Kepada Kerabat

Selain kepada orang tua, manusia muslim juga harus berbakti dan berbuat baik kepada para kerabat dan semua keluarganya. Menurut pendapat Imam al-Nawawi (w. 676 H), hadits Abu Hurairah di awal pembahasan ini tidak membatasi berbuat baik hanya kepada orang tua, melainkan juga memberikan sugesti berbuat baik kepada kaum kerabat. Hanya saja ibu lebih diutamakan, kemudian ayah, baru setelah itu para kerabat yang lain. Lebih jelasnya lagi tentang berbakti kepada para kerabat ini, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menuturkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ (رواه مسلم)

Artinya: Berita dari Abu Hurairah menyebutkan, seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Beliau menjwab, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, lalu ayahmu, selanjutnya orang-orang yang paling dekat denganmu (kerabat).” (HR. Muslim: No. 4622)

Hadits Muslim ini menjadi polemik diantara para ulama, siapakah yang lebih berhak dari para kerabat itu untuk ditaati antara pihak nenek-kakek dan pihak saudara-saudara? Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bi mengutip pendapat ulama Syafi’iyyah dalam hal ini. Mereka menetapkan kesunahan berbuat birr dalam skala prioritas secara hirarkis berturut-turut dari ibu, kemudian ayah, anak-anak, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, lalu mahram-mahram yang lain seperti paman dan bibi, baik dari jalur ayah maupun ibu. Keluarga dari keturunan ibu dan ayah didahulukan daripada keluarga dari keturunan salah satunya. Kemudian baru keluarga yang bukan mahram, seperti saudara sepupu. Lalu mertua dan tetangga. (al-Nawawi: 1392 H:XVI/103)

Berbakti Kepada Orang Tua yang Telah Wafat

Berbakti kepada orang tua tidak selesai dengan meninggalnya mereka. Sekalipun orang tua sudah meninggal dunia, seorang anak masih tetap berkewajiban untuk terus berbakti kepadanya. Adapun cara berbuat baik atau berbakti kepada mereka yang telah meninggal dunia, antara lain: (1) menjalin hubungan kasih sayang dan kekerabatan terhadap orang-orang yang pernah dikasihsayangi oleh orang tuanya semasa hidup. Alkisah, Abdullah bin Umar, seorang sahabat Nabi yang agung, suatu hari pergi dari Mekkah dengan menunggang seekor keledai dan memakai surban yang terikat di kepalanya. Kemudian lewatlah seorang arab badwi berjalan kaki. “Apakah kamu puteranya Bapak Fulan?” tanya Ibnu Umar. “Benar,” jawab si badwi. Maka Ibnu Umar pun langsung memberikan keledai dan surbannya. “Tunggangi hewan ini dan ikatkanlah surban ini dikepalamu!” pesan Ibnu Umar.

Para sahabat yang lain melihat peristiwa itu merasa kagum. “Semoga Allah mengampunimu. Kenapa engkau memberikan keledai dan surbanmu kepada orang badwi ini, padahal engkau sendiri sedang menggunakannya?” tanya mereka. Ibnu Umar pun menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ وَإِنَّ أَبَاهُ كَانَ صَدِيقًا لِعُمَرَ (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)

Artinya: “Termasuk dari bakti yang utama, ialah silaturrahimnya seseorang kepada ahli kerabat yang dicintai ayahnya, setelah orang tuanya meninggal.” Ayah orang badwi ini adalah kolega ayahnya yaitu Umar.(HR. Muslim: No. 4631, Abu Dawud: No. 4477, dan al-Tirmidzi: No. 1825)

Kemudian cara selanjutnya, (2) mendoakan dan memintakan ampunan baginya (jika keduanya beragama Islam), (3) melaksanakan janjinya, dan (4) menjaga hubungan baik dengan teman-temannya. Hal tersebut sebagaimana diungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Usaid, Malik bin Rabi’ah al-Sa’idi. Ia menuturkan:

بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه أبو داود)

Artinya: Pada suatu hari, kami duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki keturunan Bani Salamah bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bebuat baik kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?” tanya laki-laki itu. Beliau menjawab: “Ya, masih ada, yaitu mendoakan, memohonkan ampunan, melaksanakan janji keduanya yang ditinggalkan, melaksanakan silaturahim kepada seseorang yang tidak dapat dilaksanakan selain memperoleh keikhlasan dan keridhaannya, serta memuliakan kawan dari keduanya.” (HR. Abu Dawud: No. 4476)

Begitu pula firman Allah yang menganjurkan seorang anak untuk selalu mendoakan orang tuanya mengingat jasa-jasa mereka yang telah mendidiknya sewaktu kecil. Doa tersebut termaktub dalam al-Qur’an:

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya: “...dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra, 17:24)

Dalam ayat yang lain, manusia muslim dibimbing oleh agamanya untuk berdoa, memohonkan ampunan kepada Allah swt, bagi dirinya, kedua orang tuanya, kerabatnya yang mukmin, dan seluruh kaum mukminin secara umum.

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلاَ تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلاَّ تَبَارًا

Artinya: “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (QS. Nuh, 71:28)

Kesimpulan

1. Berbakti kepada kedua orangtua (birrul walidain) dan para kerabat merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan seorang muslim.

2. Mendahulukan ibu dalam berbakti daripada ayah kemudian kerabat-kerabat yang lain, merupakan suatu kesunahan.

3. Tidak termasuk durhaka (‘uququl walidain) membantah perintah dan larangan orang tua yang bertolak belakang dengan syariat Islam. Bahkan termasuk dosa dan haram hukumnya jika seseorang patuh terhadap perintah untuk bermaksiat dan durhaka kepada Allah.

4. Sugesti untuk berbuat baik dan adil kepada tetangga atau siapa saja yang non-muslim, selagi mereka tidak mengganggu stabilitas keamanan dan keyakinan kaum muslimin.

5. Sekalipun agama dan kepercayaan antara orang tua dan anak berbeda, namun hubungan kekeluargaan tetap harus dibina sebaik-baiknya.

6. Berbuat baik kepada orang tua yang telah meninggal dapat diwujudkan dengan mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, menjalankan wasiatnya, dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang menjadi koleganya.